Friday, January 4, 2013

[SongFic] Niji No Yuki


Title                 : -Songfic- Niji No Yuki (The Snow of Rainbow)
Author             : Rin
Genre              : Romance, Angst, Drama, Shounen-Ai
Pairing             : Ni~yaxSakito (Sekalian RukaxSakito min pas awal2 hehe ._.v)
Rating              : Overall PG – 15
Length             : 3826 Words
Current Mood : it’s complicated *plak XDD*
Current Song   : Alice Nine – Niji No Yuki
Summary         : “Bukankah kau bilang bahwa bahkan disaat bersalju pun, malaikat bisa saja datang dan melukiskan pelangi untuk mewarnai pucatnya salju? Atau justru sang pelangi memilih untuk menghilang terkubur oleh pekatnya langit dan membiarkan salju itu tetap putih?”
Disclaimer       : All characters belong to God while this storyline belongs to me.
A/N                  : Agak ga nyambung storyline sama song yang dipake. dan ini juga bisa dibilang fic comeback, setelah beberapa waktu lalu saya bilang hiatus dari bikin fanfic Yaoi ._. selamat membaca :3


------



Our footprints dissapearing,
Into the white that falls continuously,
There’s one memory that won’t be melted away,
That falls onto my shoulder again’



[25 Desember 2011, 07:18 PM]

Maaf, nomer yang anda tuju sedang tid---

           Laki-laki itu dengan segera memencet tombol merah di ponselnya. Kepulan asap keluar dari bibir pucatnya, menandakan betapa dinginnya Tokyo malam ini. Sesekali ia memandangi layar ponselnya dengan tatapan penuh harap.

“Apa maunya anak ini?”

            Kesal menunggu, Ia pun segera menekan tuts-tuts ponselnya, berniat untuk mengirimkan sebuah pesan kepada seseorang yang sedari tadi telah ditunggunya.
           
To: Ruka
[Dimana? Kau bilang akan menemuiku dihalte? Aku tidak melihatmu dari tadi.]

SEND!

            Ia melepaskan pandangannya dari layar ponselnya, memasukkan ponsel tersebut kedalam saku jubah tebalnya, dan mendongak memandangi langit malam itu. Laki-laki itu menikmati dirinya terhanyut memandangi esensi langit Tokyo malam itu. Gelap... Ya, gelap. Langit Tokyo malam itu hanya dapat menyajikan warna hitam bercampur kobalt tanpa disinggahi oleh jejak-jejak bintang barang setitikpun.

            Sepertinya mendung... Pantas saja aku kedinginan. Ruka, cepatlah datang. Kau mau aku mati membeku disini?’ Gerutu lelaki itu dalam hati.

DRRRT--!

            Lelaki itu dengan sigap merogoh saku jubahnya dan memeriksa pesan yang baru saja masuk diponsel flipnya tersebut.

            From: Ruka
            [Maaf, aku ada ditaman dekat stasiun sekarang. Bisakah kau datang kemari?]

            ‘Eh? Dasar... Yasudahlah...’

---虹の雪---


[25 Desember 2011, 07:43 PM]

            Laki-laki itu segera berjalan ke arah taman. Memandangi sekeliling, mencari sosok yang Ia kenal. Pandangan matanya berhenti tepat dihadapan seorang laki-laki yang berdiri memandangi patung peri ditengah-tengah taman.

            “Ruka....” Laki-laki itu tersenyum.

            Ruka pun menoleh. Ia memandangi lelaki yang ada dihadapannya itu. Tidak, bukan dengan tatapan biasa, tetapi dengan tatapan dingin tanpa ekspresi.

            “........ Sakito....”
           
            Sakito tersenyum. Di sudut hatinya, Ia tahu ada sesuatu yang berbeda pada kekasihnya itu. Sakito berjalan mendekati Ruka. Satu langkah, dua langkah...
           
            “Aku ingin mengakhiri semuanya...”

            Ucapan itu terlontar dari mulut Ruka. Masih dengan tatapan dan raut muka yang sama. Sakito yang mendengar pernyataan Ruka pun tersentak kaget.

            “...Ruka...? Apa maksudmu dengan ‘mengakhiri semuanya’? Ahaha candaanmu kali ini tidak lucu sama sekali, Tuan.”
           

‘Your faint breath,
Your fading temperature,
Along with your warmth that goes away,
Even though it’s cooling down my mind,
It feels so comfortable.’




            Sakito tahu benar bahwa Ruka tidak main-main dengan ucapannya barusan. Sakito lebih mengerti lagi bahwa apa yang diucapkan oleh Ruka sesuai dengan apa yang didengar oleh kedua telinganya. Sakito hanya ingin menyangkal apa yang baru saja didengarnya. Ia berharap bahwa apa yang baru saja didengarnya hanyalah suara-suara imajiner akibat hipotermia ringan yang menghinggapinya ditengah suhu dingin malam itu.

            “Wajahku ini... apakah wajahku merefleksikan kalau aku bercanda?”
           
“................” Sakito terdiam.
           
“Aku benar-benar serius kali ini, Sakito...”
           
“Tapi kenapa?”
           
“Karena aku benar-benar sudah tidak bisa mempertahankan ini semua! Memakai topeng, berpura-pura bahagia dihadapanmu, kukira aku akan bisa mempertahankan topeng itu sampai akhir.. Tapi pada akhirnya, topeng itu jatuh.. Retak.. Aku tak bisa memakainya lagi.”
           
“Aku bisa.. Aku bisa menyatukan kembali topeng itu, Ruka! Ijinkan aku...”
           
“Sakito, dengarkan aku, topeng yang sudah retak, walaupun disatukan kembali, ia tak bisa kembali seperti sedia kala. Ia hanya akan jadi onggokan sampah yang tersimpan rapi didalam gudang.”

.................”

Sakito hanya bisa terdiam. Ia menunduk, menahan segala emosi kesedihan yang mulai menggerogoti dirinya. Ingin rasanya Ia memandang Ruka dan bertanya apakah ini semua hanya mimpi belaka. Tapi sungguh, Ia tak sanggup. Memandang wajah Ruka yang begitu dingin saat ini hanya akan membuatnya makin sakit.

“Dengar... Aku tidak bisa hidup selamanya menggunakan topeng dihadapanmu. Aku sudah mempertimbangkan ini dengan matang. Aku tak ingin menyakitimu lebih jauh.”


‘Your smile that hid your sadness looked so painful.
Still I don’t realize your gentle lie,
And our hands are separated’



“Pergilah kalau memang itu maumu...” Sakito tersenyum tipis.

“.... Sekali lagi maaf, Sakito...” Ruka merengkuh tangan dingin Sakito. Meremasnya lembut sebelum akhirnya melepaskannya kembali.

Ruka segera berjalan melalui Sakito. Ia berjalan beberapa langkah dan menoleh melihat Sakito yang masih tegak berdiri membelakanginya. Ruka tahu Ia telah menyakiti laki-laki itu. Tapi Ia sungguh tak ingin Sakito lebih tersakiti jika mereka melangkah lebih jauh. Membalikkan badan, Ruka pun melanjutkan langkahnya menjauh dari taman itu.
           
Sakito masih terdiam menunduk disana. Ia merasakan keberadaan Ruka mulai menghilang darinya. Ia tak bisa merasakan kembali suhu tubuh Ruka, tak bisa mendengar lagi setiap hembusan nafas Ruka, Ia tak bisa lagi mendengar suara Ruka. Ia sudah benar-benar kehilangan Ruka seutuhnya.

“Apa kau tidak sadar, apa yang kukatakan padamu itu semuanya tidak benar? Aku sungguh tidak sanggup melepaskanmu.. Benar-benar tidak sanggup, Ruka.” Sakito merutuk sedih.

Bulir-bulir air mata kini sudah tak sanggup menggantung dipelupuk matanya. Mereka dengan deras mencoba keluar dan mencari jalan untuk sampai ke tanah kering dibawahnya. Ya, Sakito kini menangis. Meratapi kesendiriannya. Merutuki segala ketidak sempurnaannya yang membuat Ruka pergi darinya.


‘I want to meet you,
Although only in my memory,
Before it died by the snow.’


[25 Desember 2011, 08:00 PM]

DING---!

Suara bel sayup terdengar kala sebuah tangan terjulur tepat dibawah wajah Sakito yang menunduk. Tangan itu merengkuh sebuah snow globe didalam genggamannya. ‘Indah..’ kata pertama yang mencuat dibatin Sakito saat pertama kali melihat snow globe itu.

Siapa yang akan menolak keindahan snow globe semacam itu? Didalam bola kaca itu terpatri sebuah pohon natal mungil yang di beberapa sisinya tampak tertimbun salju. Bel-bel kecil yang menggantung di figurin pohon itu menciptakan suara gemerincing kecil ketika snow globe tersebut sedikit diguncangkan. Terlihat sebuah figurin manusia salju yang dikelilingi oleh figurin-figurin anak-anak bersweater merah berseling hijau berdiri tepat disebelah pohon natal tadi. Snow globe itu terlihat lebih indah karena sebuah pelangi terlukis diatas sang manusia salju, memberi warna kepada timbunan pasi salju dibawahnya.

Sakito tak bisa menolak keindahan bola salju tersebut. Untuk beberapa detik, matanya tak bisa lepas dari benda cantik itu. Pikirannya berputar meneliti setiap inci dari snow globe tersebut.

“Untukmu...” Sang pemilik tangan bersuara.

Sakito sontak mendongak. Ia memandangi sosok pemilik tangan tersebut dengan lekat. Seorang laki-laki dengan jaket musim dingin panjang berwarna hitam yang terlihat senada dengan langit malam itu. Mata hitamnya memandang Sakito dalam, Senyum terlukis dengan sempurna pada lengkungan bibirnya.

“Kelihatannya sedih sekali?” Pria itu mulai bersuara lagi.

Saat itu juga Sakito segera tersadar dari lamunannya. Ia memasang senyum kecil diwajahnya, mencoba untuk tidak terlihat sedih dihadapan pria itu.

“...Tidak, aku hanya sedikit kedinginan. Itu.... Itu untukku?” Sakito menunjuk snow globe yang sedari tadi dibawa oleh pemuda itu.

“Ah, iya.” Pemuda itu mengiyakan pertanyaan Sakito. Ia menjulurkan tangannya, memberi kode pada Sakito untuk mengambil snow globe ditangannya.

“Tapi, kenapa?” Sakito mengambil snow globe tersebut.

“Karena kau sedang sedih. Tapi kalau kau tidak mau, sini, berikan padaku lagi.” Pemuda itu membalas perkataan Sakito dan menarik kembali snow globe ditangan Sakito.

“E-eh?”

Sakito cukup kebingungan dengan perkataan pria misterius itu. ‘Darimana orang ini bisa tahu kalau aku sedang sedih? Dia memata-mataiku sejak tadi?’ Batin Sakito

Lama Sakito dan pria itu terhanyut dalam kesunyian. Tak seorangpun dari mereka memutuskan untuk angkat bicara. Sakito memutuskan untuk kembali memandangi indahnya snow globe digenggaman pemuda itu. Begitupun sang pemuda, Ia memandangi benda tersebut dengan pandangan yang cukup intens.

Bosan atas keadaan saling diam yang ada, lelaki itu memulai sepotong pembicaraan diantara mereka berdua.

“Kau tahu kenapa terdapat pelangi didalam sana?” Laki-laki itu memiringkan kepalanya agar dapat melihat wajah Sakito dengan jelas.

“....Tidak... Kenapa?”

“Karena snow globe ini ingin menyampaikan sesuatu padamu...”

“Menyampaikan... sesuatu?” Sakito makin bertanya-tanya, apa maksud lelaki ini sebenarnya.

“Ia ingin memberitahumu, bahwa bahkan disaat bersalju pun, malaikat bisa saja datang dan melukiskan pelangi untuk mewarnai putihnya salju.”

Pria itu berujar dengan intonasi sedemikian lembut sehingga membuat Sakito merasakan sebuah kenyamanan. Melupakan pikiran buruknya mengenai pria tersebut. Sakito kembali menangis. Air matanya kini sudah tak dapat Ia bendung lagi. Air mata yang Ia sembunyikan dibalik senyumannya kini meleleh keluar dari matanya.

“Kenapa... Kenapa malaikat itu melukiskan sebuah pelangi disaat salju datang? Bukankah salju itu sudah ditakdirkan untuk selamanya putih dan dingin?” Sakito mengalihkan pandangannya dari snow globe itu dan beralih memandang pemuda misterius itu.

“Itu PR-mu.”

“PR?”


It was left within our hands,
Your warmth, and it won’t disappear.
And there’s no replacement for that.
My melted tears will disappear into the rainbow.’



[25 Desember 2011, 08:02 PM]

“PR?”

“Iya. PR” Jawab pria itu santai.

“................”

Butir-butir air mata Sakito masih keluar. Ia masih kebingungan apa maksud dari pria itu dengan ‘PR’. Bintik-bintik putih berjatuhan melewati matanya. Sakito mendongak, mencoba menatap langit.  Ya, salju.

“Kau membuat langit sedih.” Pria itu membuka telapak tangannya. Menangkap beberapa bunga-bunga salju yang kemudian ditunjukkannya pada Sakito.

“Lihatlah, langit menangis karena melihatmu menangis. Sebaiknya kau berhenti menangis sebelum kota ini tertimbun salju.” Laki-laki itu tertawa pelan.

“Mana ada yang seperti itu?” Sakito menyeka air matanya.

“Ada, ahaha..” Laki-laki itu kembali tertawa. Sakito tersenyum melihat tingkah pemuda itu. Pemuda ini benar-benar memberinya kehangatan yang sama seperti yang Ia pernah rasakan bersama Ruka. Tidak, bahkan lebih hangat.

---虹の雪---

“Sepertinya aku harus pergi... Siapa namamu, hm?” Laki-laki itu bertanya pada Sakito.

“Sakito... Dan, namamu?” Sakito balik bertanya.

“Baiklah, Sakito. Sekarang tugasmu adalah mencari tahu jawaban dari ‘PR’ yang kuberikan tadi. Kalau kau sudah menerima jawabannya, tunggulah aku ditaman ini tepat pada tanggal, bulan, dan jam yang sama... Dan tentu saja memberitahuku, apa jawaban dari ‘PR’ itu. Deal?”

“Itu berarti... Tahun depan? Itu lama sekali! Kalau aku lupa bagaimana?” Sakito sedikit menjengit saat mendengar perkataan pemuda itu.

“Bukankah itu setimpal dengan jawaban yang akan kau dapat? Dan lagi aku tak memaksamu untuk mengingatnya bukan? Jadi terserah padamu, kau ingin mencari jawaban untuk ‘PR’mu itu atau kau mau membiarkannya saja seperti angin lalu.” Sanggah laki-laki itu.

Laki-laki itu menarik sebelah tangan Sakito, membuka telapak tangannya, dan meletakkan snow globe yang sedari tadi dipegangnya diatas telapak tangan Sakito.

“Kutinggalkan ini ditanganmu... Selanjutnya, semuanya terserah padamu... Merry white christmas untukmu dan sampai jumpa, Sakito...” Lelaki itu membalikkan badannya dan berlalu pergi.

“Tunggu!! Aku belum tahu siapa namamu!!” Sahut Sakito keras. Pria itu tak menoleh sedikitpun. Menghentikan langkahnya saja tidak. Yang pria itu lakukan hanya mengangkat tangan kanannya keatas seraya melambaikannya tiga kali kekiri dan kekanan.

Sakito memandangi punggung pemuda itu. Banyak hal yang berputar-putar dipikirannya. Ia memandangi snow globe yang kini ada ditangannya. Ia mengangkat snow globe itu hingga sejajar dengan wajahnya. Matanya menelusuri setiap bagian dari benda itu hingga Ia menemukan ukiran beberapa huruf pada lempengan emas kecil dibawah globe tersebut. Tulisan itu terukir dengan aksen tanaman sulur yang benar-benar indah.

“Ni~ya..?” Sakito membaca tulisan yang ada dilempengan tersebut.

“Apa itu namanya? Ni~ya..” Sakito tersenyum, mendongakan kepalanya, membiarkan butiran-butiran salju tersebut jatuh dan meleleh diwajahnya.

‘Untuk kali ini saja, biarkan air mataku melebur dan membeku bersama dengan salju ini...’ Sakito berkata pada dirinya sendiri.


‘On the morning when the moon is sleeping,
The silver diffused reflection of the snow will change.
This cold solitude, even the day of loving you.
Then I will wait for the flower that will not bloom for a second time.’


[19 Januari 2012, 08:00 AM]

Suara dering alarm jam bergema keras dimeja sebelah tempat tidur Sakito. Sakito yang masih meringkuk dibawah selimut pun sontak terbangun dan mengerjapkan matanya sambil sesekali menguap lebar. Ia menggapai-gapai meja untuk mematikan alarm yang dipasangnya. Sakito melihat sekeliling, mengumpulkan ‘nyawa’nya setelah sejenak merebahkan dirinya diatas kasur. Ia melihat sekeliling. Matanya berhenti ketika Ia menangkap snow globe pemberian Ni~ya bersebelahan dengan jam alarmnya. Ia tiba-tiba memikirkan kembali tentang ‘PR’ yang diberikan oleh Ni~ya untuknya.
           

            “Hampir satu bulan dan aku masih belum menemukan jawabannya... Apa aku harus menyerah saja?” Sakito mulai berdialog dengan dirinya sendiri.

            “Mana aku tau kenapa malaikat itu melukiskan sebuah pelangi disaat salju datang? Tapi aku kan yang pertama kali menanyakannya.. Kenapa aku harus bertanya seperti itu? Tch.. Sudahlah, lebih baik aku mandi saja sekarang.” Sakito menarik diri dari selimutnya dan bergegas pergi ke kamar mandi.
           

---虹の雪---

            [7 Juli 2012, 10:20 AM]
           
           
            Sakito duduk didepan meja ruang tamu, memeluk sebuah gitar akustik, menyandarkan dagunya kebagian tubuh gitar itu. Kertas-kertas dan partitur-partitur lagu berserakan diatas meja. Pandangan matanya kosong. Ya, Sakito adalah seorang songwriter dan musisi terkenal diJepang. Ia dikenal akan suara emasnya dan keahliannya dalam menciptakan lagu-lagu indah yang selalu hits dipasaran. Biasanya, Sakito hanya butuh waktu beberapa hari untuk menciptakan satu lagu. Namun, kali ini berbeda. Sudah hampir 3 minggu dan Sakito bahkan belum menyempurnakan bait pertama dari lagu tersebut.

            “Hhh.. Aku benar-benar buntu!!” Sakito menggenjreng gitarnya keras. Membuat sang ibu sontak datang menghampirinya

            “Kau kenapa, Saki?” Sang ibu duduk disofa. Membelai rambut Sakito pelan.

            “A-ah, tidak.. Hanya sedang memikirkan suatu hal, Kaasan...” Sakito memandang Ibunya.

            “Kaasan...” Sakito memanggil Ibunya pelan.

            “Iya, Saki?”

            “Saki boleh merebahkan diri dipangkuan Kaasan?”

            “Memangnya kau anak kecil, hm?”

            “Aku kan anakmu, Kaasan.” Sakito cemberut. Sang ibu terkekeh kecil. Sakito memang selalu menjadi ‘Saki kecil’nya. Dengan lembut, sang ibu menarik kepala Sakito, merebahkan kepala Sakito dipangkuannya, dan membelai rambut Sakito pelan, seperti kebiasaan Sakito saat kecil.

            “Kaasan..” Sakito memanggil ibunya lagi.

            “Apalagi, Saki?” balas sang ibu yang masih membelai rambut Sakito.

            “Apa sebelum bertemu dengan Tousan.... Kaasan merasa... dingin? Maksudku, sebelum bertemu Tousan, apakah Kaasan tidak sebahagia ini?” Sakito memandang ibunya lekat. Ia bingung bagaimana menyampaikan hal ini kepada ibunya. Tapi, dari raut wajah ibunya saat ini, Ia bisa menangkap bahwa ibunya itu sepertinya mengerti apa yang Ia maksudkan.

            “Jangan bilang Saki kecilku ini sedang jatuh cinta?”

DEG---!

            Rona merah terlihat menyembul keluar perlahan dari pipi Sakito. Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh ibunya. Apakah benar Ia jatuh cinta pada orang misterius yang hanya pernah bertemu sekali dengannya itu. Apakah benar bahwa Ia jatuh cinta pada Ni~ya.

            “Kaasan tidak tau kenapa tiba-tiba kau menanyakan ini. Tapi, sebelum Kaasan bertemu dengan Tousanmu, apa yang Kaasan kerjakan bisa dibilang rasanya sangat monoton. Apa yang Kaasan kerjakan hampir semuanya memberikan Kaasan kejenuhan. Seperti saat kau memandang kertas putih. Membosankan bukan?”

            “.................” Sakito bungkam meresapi setiap perkataan yang diucapkan oleh ibunya.

            “.... Tapi, Tousanmu itu, benar-benar bagaikan pelangi. Tousanmu itu benar-benar membuat Kaasan melupakan semua kejenuhan itu.. Yah, seperti yang bisa kau lihat selama ini...”


‘I won’t let the stopped time to move again.
‘On that day, to the place where you wait.
No matter how many times I should return,
It looks like I will vanish.’



“Seperti.... pelangi?” Sakito terbelalak mendengar perkataan ibunya.

“Iya.. Pelangi..”

“...Jadi begitu... Bodoh, kenapa aku tidak memikirkan hal itu sebelumnya?”

“Memikirkan apa? Saki, tingkahmu sungguh aneh hari ini.”

“Ah, aku tidak apa-apa. Terima kasih ya, Kaasan. ” Sakito bangkit dari pangkuan ibunya, merengkuh tubuh ibunya erat, dan dengan wajah sumringah kembali duduk memeluk gitarnya.

Ya, Sakito kembali bergelut dengan gitar, pensil, dan kertas-kertas partitur lagunya itu. Ia benar-benar bersemangat sekali. Sesekali Ia berhenti, mengayun-ayunkan pensil didepan wajahnya dan menggerutukan beberapa kalimat puitis yang terkadang Ia akhiri dengan decakan dan juga rutukan ‘tidak, tidak. Bukan seperti itu!’.


[7 juli 2012, 10:10 PM]

Seharian penuh Sakito duduk diruang tamu. Sahutan ibunya untuk mengajaknya makan pun selalu dihiraukannya. Ia benar-benar ingin menyelesaikan pekerjaannya hari itu. Sukar untuk menghentikan Sakito apabila Ia sudah berkonsentrasi dengan pekerjaannya.
           
Sudah hampir 12 jam Sakito berkutat dengan benda-benda itu. Kondisinya benar-benar mengerikan. Rambutnya sedikit acak-acakan, kantung mata tipis bertengger sempurna dibawah matanya, keringat terlihat jelas disisi-sisi wajahnya.

            “Selesai! Ahaha!” Sakito berteriak lega. Ia meregangkan tangan dan punggungnya.

            “Aku tidak pernah selelah ini sebelumnya.. Tapi aku puas..” Sakito pun bergegas merapikan kertas partiturnya, menyimpannya dimeja kamar, dan berjalan menuju kasurnya.

            “Natal, kumohon cepatlah datang..” Sakito berdoa sebelum akhirnya terpejam.


‘I want to meet you although only in my memory,
Before it dyed by the snow.
It was left within our hands,
Your warmth, and it won’t fade away.
Alone, I sing with withered voice.’


[25 Desember 2012, 08:00 PM]

Gemerlap cahaya tertuju pada bagian tengah panggung. Petikan gitar yang menandakan dimulainya sebuah lagu kini terdengar hingga ujung ruangan. Riuh suara yang tadinya ada, kini menghilang tak berbekas bak kapal yang hilang ditenggelamkan oleh siren-siren cantik ditengah laut. Lirik-lirik indah kini teralun dari tengah panggung.

Sakito... Sakitolah yang kini bernyanyi diatas panggung. Beratus-ratus pasang mata memperhatikannya. Beratus-ratus pasang telinga mendengarkan alunan lagunya... Bukan, bukan ‘lagu’, tetapi jeritan hati. Jeritan perasaan yang berkecamuk sejak setahun yang lalu. Sejak Ruka memutuskannya. Sejak Ia bertemu dengan Ni~ya.

Sakito menyanyikan seluruh emosinya. Setiap kalimat yang Ia nyanyikan benar-benar menyayat hatinya. Sungguh, ini adalah luapan emosinya. Luapan emosi yang bertumpuk sedemikian banyak, yang sudah tak bisa tertampung lagi didalam hatinya, yang ingin segera dikeluarkan dan meledak. Hingga akhirnya pada bait terakhir, walaupun para penonton tak menyadarinya, Sakito menitihkan air matanya.

Setelah petikan gitar terakhir, Sakito menyeka linangan air mata yang masih berbekas diwajahnya dan membungkuk, memberikan hormat kepada penonton yang telah menyaksikan pertunjukannya. Ia mengucapkan terima kasih dan bergegas menuju kebelakang panggung degan diiringi oleh riuh tepuk tangan semua orang yang menyaksikan penampilannya barisan.


---虹の雪---

               
                “Kerja bagus, Sakito! Seperti yang kuduga, Konser kali ini sukses besar...” Mr. Maeda, sang produser konser, menepuk bahu Sakito pelan.

                “Terima kasih, Mr. Maeda. Maaf, aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa, Mr. Maeda.” Sergah Sakito. Sakito berlari menuju ruang rias, menghadap kearah kaca dan berkata,

                “Aku terlambat... Apa dia masih disana? Semoga saja begitu.” Ia melirik kearah kursi disampingnya. Disana, tergeletak sebuah snow globe pemberian Ni~ya. Sakito mengulurkan tangannya, mengambil snow globe itu dan bergegas lari keluar dari gedung konser tersebut.

                “Sakito!!! Kau mau kemana!! Kau masih ada konfrensi dengan fansmu!!” Mr. Maeda berteriak memanggil Sakito.

                “Aku ada urusan penting!! Maaf!!” Sakito masih berlari. Ia tak menghiraukan beberapa kru yang tengah memanggilnya dibelakang sana.

Sakito berlari dengan kencang. Berkali-kali Ia menabraki orang-orang yang berjalan ditrotoar karena menghalangi jalannya. Ia bahkan menyebrang tanpa memperdulikan lampu lalu lintas yang masih menyala hijau. Teriakan-teriakan pengendara yang memakinya serta sahutan-sahutan klakson mobil pun tak diindahkannya. Yang ada dipikirannya saat ini hanyalah sampai ditaman itu. Taman tempat dirinya dan Ni~ya berjanji untuk bertemu kembali.

“Itu... tamannya...” Kata Sakito dengan nafas tersengal-sengal.



‘You’re not here.
On this pure white world.
Just step on it once.
You will change the snow into a rainbow’



[25 Desember 2012, 08:35 PM]

Sakito berlari menuruni tangga untuk masuk ke taman tersebut. Berlari menuju patung peri ditengah taman tersebut. Ia berhenti tepat dihadapan patung peri tersebut. Sebelah tangannya berpaku pada patung. Sakito mengatur nafasnya unntuk beberapa saat. Melihat sekeliling dan tidak menemukan seorangpun disana.

“Aku benar-benar sudah terlambat...”

Sakito merasa kecewa. Ia memandangi snow globe yang ada ditangannya. Isakannya terdengar memilukan. Ia benar-benar frustasi. Ia terduduk dibawah patung peri itu, menyilangkan tangannya diatas lutut dan menangis.

“Maaf.... Maafkan aku... Kalau saja aku tidak menerima tawaran konser itu... Ni~ya..” Sakito masih terisak.

“Kumaafkan...”

“Eh?” Sakito mengangkat kepalanya. Ia  mendapati Ni~ya berlutut didepannya.

---虹の雪---


“Halo, cengeng..” Ni~ya menepuk kepala Sakito pelan.

Sakito memandangi Ni~ya dengan mata berkaca-kaca. Bibirnya yang mengatup gemetar menahan tangis. Air mata kini memenuhi wajahnya. Sakito mendorong tubuhnya kedepan, memeluk Ni~ya erat. Ia menangis sejadi-jadinya didekapan Ni~ya.

“Bodoh, bodoh, bodoh!! Kau tau aku berlari dari gedung konser kesini. Aku hampir ditabrak oleh mobil, jatuh tersandung, dimaki oleh orang-orang, hanya untuk sampai disini!! Dan apa yang kulihat? Tidak ada seorangpun!! Kau tega membuatku seperti ini! Aku benci padamu! Aku benci padamu, Ni~ya!!” Sakito memukul-mukul dada Ni~ya berulang-ulang.

“Maaf... Aku menunggu disini dari satu jam yang lalu. Kupikir kau tidak akan datang, jadi aku memutuskan untuk pergi. Tapi kulihat ada seseorang terduduk disini, kupikir mungkin itu kau, jadi aku kembali kesini...” Ni~ya membelai ujung kepala Sakito pelan.

“..................” Sakito menangis. Nafas dan isakannya menderu keras ditengah kesunyian malam.

Keduanya terdiam dalam posisi itu untuk beberapa menit hingga snow globe yang digenggam oleh Sakito jatuh ketanah dan menimbulkan suara gemelinting. Membuyarkan kesunyian diantara mereka berdua.

“.... Sudah menemukan jawabannya?” Ni~ya mendorong Sakito sedikit menjauh dari tubuhnya, memberikan ruang kepada matanya untuk bisa memandang wajah Sakito.

“Sudah..”

“Lalu, apa?”

“Kau menyuruhku mencari jawaban dari ‘Kenapa malaikat itu memutuskan untuk melukiskan sebuah pelangi disaat salju datang?’ bukan?”

“Tepat sekali, Sakito.. Lalu, apa jawabannya?” Ni~ya memungut snow globe tersebut dan meletakkannya diatas kedua telapak tangannya.

“Karena, malaikat merasa kasihan kepada salju.. Malaikat itu merasa kasihan karena salju selalu merasa dirinya dingin dan putih.. Salju selalu merasa bahwa dirinya bernasib sama dengan sebuah kertas putih. Semua orang akan bosan memandanginya terus-menerus..” Sakito menjelaskan. Tatapan matanya lekat memandang snow globe ditangan Ni~ya.

            “Malaikat itu berpikir, bahwa yang bisa mengimbangi kepasian salju adalah keberagaman warna pelangi. Pelangi itu akan merefleksikan berbagai warna pada salju itu.. Dengan begitu, salju tak akan merasa dirinya membosankan dan sendirian.. Begitu ‘kan?”

            Ni~ya berdiri. “Nah, kau sudah menemukan PR mu, sekarang, aku bisa pergi.”

“Apa?” Sakito seketika ikut bangun dan memandang nanar wajah Ni~ya.

“Kau kan sudah menemukan PR mu.” Ni~ya menjawab singkat

“Bukankah kau bilang bahwa bahkan disaat bersalju pun, malaikat bisa saja datang dan melukiskan pelangi untuk mewarnai putihnya salju? Atau justru sang pelangi memilih untuk menghilang terkubur oleh pekatnya langit dan membiarkan salju itu tetap putih?” Sakito memandang Ni~ya tajam. Matanya berkaca-kaca menahan agar air matanya itu tidak keluar kembali.

“................................”

“Kaulah pelangi itu, Ni~ya.. Kalau kau meninggalkanku sekarang, itu tandanya kau melupakan tugas yang diberikan oleh sang malaikat padamu. Kau tidak mau mewarnai salju yang pasi itu? Kau ingin membiarkan salju itu tetap dingin dan sendirian?” Sakito mencengkram lengan jubah kiri Ni~ya. Ni~ya hanya bisa terdiam berdiri disana.

---虹の雪---


“Kau bilang kalau aku menemukan jawabannya, kau akan mengabulkan satu permintaanku...” Sakito mencengkram jubah Ni~ya makin erat.

“.... Apa yang kau minta?” Ni~ya memandang wajah Sakito.

“.. Aku.. Minta.. Ni~ya selalu ada didekatku. Menemaniku. Tidak boleh pergi. Menjadi pelangi yang bisa mewarnai hari-hariku..”

Ni~ya terbelalak kaget. Ia menatap dalam-dalam mata Sakito. Hanya ada keseriusan yang terpancar disana. Sakito serius kali ini, dia benar-benar tidak main-main saat Ia bilang bahwa Ia ingin Ni~ya berada disisinya.

“Aku... tidak bisa, Sakito.. Aku tidak bisa..” Ni~ya masih menatap Sakito tajam.

Sakito tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Sakito sakit mendengarkan perkataan Ni~ya barusan. Sakito benar-benar terpukul kali ini. Ditinggalkan oleh 2 lelaki ditempat yang sama, apakah ini adalah sebuah kutukan untuknya? Apakah Sakito memang dikutuk untuk tetap sendiri, terpuruk karena ditinggalkan oleh orang-orang yang Ia sayangi?

“Bodohnya aku, memaksa seseorang untuk tetap disini bersamaku.. Padahal sudah jelas aku ini cuma orang asing.. Mana mungkin kau mencintai orang asing, iya kan? Ahahah.” Sakito tertawa pahit.

“Aku tidak bisa menolak permintaanmu barusan, Sakito.” Ni~ya tiba-tiba memotong perkataan Sakito.

“Apa?”

 “Aku akan tetap berada disisimu.” Ni~ya merengkuh kedua tangan Sakito. Mengenggamnya erat. Membuat si empunya tangan menangis.

“Teganya kau...” Sakito memeluk Ni~ya kembali. Kali ini lebih erat. Bukan tangisan kesedihan yang menemaninya dipelukan Ni~ya saat ini. Tangisan kebahagiaan.. Tangisan karena Ia kini memiliki tumpuan hidupnya. Memiliki pelangi untuk mewarnai hari-harinya.

“Ahahah.. Maaf, Sakito... Ah, lihat! Sudah kubilang kalau kau menangis langit juga ikut menangis ‘kan?”

“Biar saja..” Sakito kembali cemberut.

“Dasar..”

Mereka berdua kini tertawa lepas dan berpelukan dibawah salju yang mulai menutupi setiap bagian taman itu. Pada akhirnya, pelangi dan salju itu kini bisa bersatu. Memberi warna kepada kehidupan satu sama lain. Berjanji pada satu sama lain bahwa mereka akan menuliskan huruf per huruf dari a sampai z yang terjalin membentuk berbagai macam kata. Kata-kata yang kemudian memutuskan untuk berikatan membentuk kalimat-kalimat indah. Kalimat-kalimat yang mengelompokkan dirinya menjadi paragraf-paragraf untuk menyusun prosa-prosa indah pada lembaran-lembaran dalam sebuah buku putih polos hingga cover penutup menyambut mata sehingga semua orang tak akan bosan untuk membacanya.


終わり



N/B: Uwaa!! Maaf, ficnya ndak bagus. Bener2 bingung. Berkali-kali kena writer’s block. Dan banyak yang harus saya potong. Ditambah lagi bagian endingnya terkesan rush sekali. Mou ichido, doumo sudah mau baca fic saya. XDDDD

3 comments:

  1. Apanya yg ndak bagus, hah??? Saya suka ceritanya~
    Dan saya sama sekali ga nangkep kesan rush deh :|
    Dan lagi... diksinya sugee~ *-*)b Indah bo~

    O iya, ada yang belum sesuai dengan tata bahasa yang benar! Jangan lupa diedit yah XDb

    ReplyDelete
  2. *siksa nak Rin*
    aaaaaaaaaanyaaaaa~~~ suuukiiiii!!! TAT)/

    ReplyDelete
  3. @Shiroppoi: mwahah iya. saya males ngedit jadi yaa XDa *plakk*

    @yukinao: ini gagal maaah Dx

    ReplyDelete